Korupsi Ga Berhubungan dengan
Pendidikan, Masa Sih?
Anggaran
pendidikan tahun 2012 sebesar 289,957 triliun rupiah atau 20,2 persen dari
total belanja negara yang mencapai angka sekitar 1400 triliun rupiah. Dua puluh
persen uang rakyat untuk pendidikan tentu bukan hanya semata-mata untuk
menjalankan amanah sesuai yang tertuang dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945. Ada
suatu harapan yang besar dari bangsa Indonesia kepada dunia pendidikan karena
dari itulah masa depan negara Indonesia sangat ditentukan. Bangsa Indonesia
tentunya mengharapkan agar dari dunia pendidikan ini lahir orang-orang yang
mampu membawa perubahan menuju ke arah yang lebih baik lagi.
Kaitannya
dengan kasus korupsi yang banyak bermunculan akhir-akhir ini, sistem pendidikan
di Indonesia saat ini masih belum bisa menghasilkan output yang anti korupsi
entah karena warisan masa lalu atau karena kementerian pendidikan dan
kebudayaan yang lama dalam melakukan perubahan.
Orang
yang melakukan korupsi merupakan sedikit gambaran hasil dari sistem pendidikan
di saat ini. Maksudnya sistem pendidikan di Indonesia saat ini belum bisa
melahirkan orang-orang yang memiliki karakter yang baik sesuai dengan jati diri
dan kepribadian bangsa. Misalnya saja ketika ada lampu merah seharusnya
kendaraan berhenti dengan tidak boleh melewati garis batas, namun kenyataannya
di Jakarta masih banyak kendaraan yang melewati garis batas, sehingga
menghalangi laju kendaraan dari arah yang lain. Di Jepang ketika orang berada
di dalam kereta sedang tertidur, barang-barang berharga yang dibawanya aman,
tidak ada orang yang mengambil. Berkebalikan di Indonesia, ketika berada di
dalam kereta bahkan dalam keadaan sadar dan waspada pun barang yang dibawanya
bisa diambil orang. Contoh lain yang pernah penulis amati adalah kantin
kejujuran. Ada beberapa sekolah yang menerapkan kantin kejujuran, namun
faktanya ada yang mengalami kerugian hampir setiap hari karena beberapa siswa membeli
sesuatu di kantin kejujuran, tetapi membayar uang lebih sedikit dari yang
seharusnya. Contoh di atas masih mencakup golongan bawah. Bagaimana kalau
mereka adalah para pejabat, mungkin yang diambil adalah uang rakyat. Semoga
tidak.
Hal
ini telah terjadi bertahun-tahun dan mengapa kementerian pendidikan dan
kebudayaan tidak dengan cepat melakukan perubahan. Siswa saat ini terlalu
dipaksa untuk menguasai sekian banyaknya mata pelajaran (penulis rata-rata
mengalami 14 mata pelajaran sejak SMP hingga SMA) dengan target harus
mendapatkan nilai yang baik ketika ulangan atau ujian, sehingga jalan pintas
yang banyak ditempuh oleh para siswa adalah dengan menyontek. Ini kan sama saja
mendidik siswa berbuat korup secara tidak langsung. Ketika nilai yang
didapatkan masih kurang, guru menarik-narik nilai para siswa menjadi lebih
tinggi. Hal ini harus dilakukan perubahan. Mengapa tidak dilakukan saja
pengurangan terhadap jumlah mata pelajaran dan penurunan tingkat materi yang
harus dikuasai agar tidak sulit. Dengan demikian siswa dapat belajar dengan
senang, tidak menyontek saat ulangan, dan guru pun lebih bersikap objektif
dalam memberikan nilai. Selain itu, pendidikan saat ini juga tidak boleh
mengutamakan pendidikan sekuler yang hanya berorientasi pada mata
pelajaran semata. Pendidikan mengenai budi pekerti juga harus ditambah terutama
pada pendidikan agama yang saat ini dirasa masih kurang jam pelajarannya.
Pelajaran agama juga jangan hanya mengutamakan penguasaan materi, tetapi harus
melihat sisi praktiknya dalam kehidupan sehari-hari.
Harapan
penulis adalah kementerian pendidikan dan kebudayaan melakukan evaluasi
terhadap kekurangan yang masih ada saat ini dan memperbaikinya, sehingga output
dari dunia pendidikan bisa menghasilkan generasi yang berkualitas baik dari
sisi intelektual, budi pekerti, dan spiritual serta yang lebih penting lagi
adalah memiliki jiwa anti korupsi.
Satrio Pandoyo