Thursday 30 August 2012

Korupsi Ga Berhubungan dengan Pendidikan, Masa Sih?


Korupsi Ga Berhubungan dengan Pendidikan, Masa Sih?

Anggaran pendidikan tahun 2012 sebesar 289,957 triliun rupiah atau 20,2 persen dari total belanja negara yang mencapai angka sekitar 1400 triliun rupiah. Dua puluh persen uang rakyat untuk pendidikan tentu bukan hanya semata-mata untuk menjalankan amanah sesuai yang tertuang dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945. Ada suatu harapan yang besar dari bangsa Indonesia kepada dunia pendidikan karena dari itulah masa depan negara Indonesia sangat ditentukan. Bangsa Indonesia tentunya mengharapkan agar dari dunia pendidikan ini lahir orang-orang yang mampu membawa perubahan menuju ke arah yang lebih baik lagi.
Kaitannya dengan kasus korupsi yang banyak bermunculan akhir-akhir ini, sistem pendidikan di Indonesia saat ini masih belum bisa menghasilkan output yang anti korupsi entah karena warisan masa lalu atau karena kementerian pendidikan dan kebudayaan yang lama dalam melakukan perubahan.
Orang yang melakukan korupsi merupakan sedikit gambaran hasil dari sistem pendidikan di saat ini. Maksudnya sistem pendidikan di Indonesia saat ini belum bisa melahirkan orang-orang yang memiliki karakter yang baik sesuai dengan jati diri dan kepribadian bangsa. Misalnya saja ketika ada lampu merah seharusnya kendaraan berhenti dengan tidak boleh melewati garis batas, namun kenyataannya di Jakarta masih banyak kendaraan yang melewati garis batas, sehingga menghalangi laju kendaraan dari arah yang lain. Di Jepang ketika orang berada di dalam kereta sedang tertidur, barang-barang berharga yang dibawanya aman, tidak ada orang yang mengambil. Berkebalikan di Indonesia, ketika berada di dalam kereta bahkan dalam keadaan sadar dan waspada pun barang yang dibawanya bisa diambil orang. Contoh lain yang pernah penulis amati adalah kantin kejujuran. Ada beberapa sekolah yang menerapkan kantin kejujuran, namun faktanya ada yang mengalami kerugian hampir setiap hari karena beberapa siswa membeli sesuatu di kantin kejujuran, tetapi membayar uang lebih sedikit dari yang seharusnya. Contoh di atas masih mencakup golongan bawah. Bagaimana kalau mereka adalah para pejabat, mungkin yang diambil adalah uang rakyat. Semoga tidak.
Hal ini telah terjadi bertahun-tahun dan mengapa kementerian pendidikan dan kebudayaan tidak dengan cepat melakukan perubahan. Siswa saat ini terlalu dipaksa untuk menguasai sekian banyaknya mata pelajaran (penulis rata-rata mengalami 14 mata pelajaran sejak SMP hingga SMA) dengan target harus mendapatkan nilai yang baik ketika ulangan atau ujian, sehingga jalan pintas yang banyak ditempuh oleh para siswa adalah dengan menyontek. Ini kan sama saja mendidik siswa berbuat korup secara tidak langsung. Ketika nilai yang didapatkan masih kurang, guru menarik-narik nilai para siswa menjadi lebih tinggi. Hal ini harus dilakukan perubahan. Mengapa tidak dilakukan saja pengurangan terhadap jumlah mata pelajaran dan penurunan tingkat materi yang harus dikuasai agar tidak sulit. Dengan demikian siswa dapat belajar dengan senang, tidak menyontek saat ulangan, dan guru pun lebih bersikap objektif dalam memberikan nilai. Selain itu, pendidikan saat ini juga tidak boleh mengutamakan pendidikan sekuler yang  hanya berorientasi pada mata pelajaran semata. Pendidikan mengenai budi pekerti juga harus ditambah terutama pada pendidikan agama yang saat ini dirasa masih kurang jam pelajarannya. Pelajaran agama juga jangan hanya mengutamakan penguasaan materi, tetapi harus melihat sisi praktiknya dalam kehidupan sehari-hari.
Harapan penulis adalah kementerian pendidikan dan kebudayaan melakukan evaluasi terhadap kekurangan yang masih ada saat ini dan memperbaikinya, sehingga output dari dunia pendidikan bisa menghasilkan generasi yang berkualitas baik dari sisi intelektual, budi pekerti, dan spiritual serta yang lebih penting lagi adalah memiliki jiwa anti korupsi.

Satrio Pandoyo

1 comment: