Untuk saudaraku, Zuhud.
Beberapa hari yang lalu, ayah seorang temanku resmi ditetapkan sebagai
tersangka terkait kasus penyelewengan dana. Sejak hari itu pula, temanku itu tak mau masuk sekolah.
Malu. Mungkin itu yang dia rasakan. Ia malu memiliki ayah seorang
koruptor. Menyesal karena ia lahir sebagai anaknya. Malu menjadi anak dari
seorang pejabat yang hanya ingin menyekolahkannya di sekolah terbaik,
membelikannya apa yang dia mau dan memberikan yang terbaik pada keluarganya (?)
Oh, atau mungkin juga ia sedang marah sekarang. Tapi marah pada siapa?
Dirinya sendiri? Ibunya? Mereka berdua bahkan tidak melakukan sesuatu yang
melanggar hukum. Mereka juga tak pernah menyuruh ayahnya korupsi. Iya kan?
Jadi marah pada siapa? Ayahnya? Mungkin saja…
Tapi aku punya sebuah cerita,
suatu kali ayahku pernah mengatakan pada kami, penguat seorng
laki-laki adalah dukungan keluarganya. Istri dan anaknya harus mampu menjadi
rem. Membantunya ketika memilih jalan terang, meminta si kemudi
mempertimbangkan ketika ada jalan remang, dan harus menjadi penahan ketika ia
melirik jalan dekat tetapi sangat gelap. Bukan hanya menerima dan tak mau tahu
usaha apa yang dilakukan mereka –para kepala rumah tangga-.
~~~
Sore ini, ingin sekali aku berkunjung ke rumahnya. Tapi, yang membuatku
terus berfikir hanyalah apa yang akan aku lakukan sesampainya di sana. Haruskah aku
mengatakan ‘kau harus bersabar’ sambil mengusap pundaknya dan memeluknya ? Atau
aku harus mengajaknya makan es krim seperti biasa, dan berpura-pura tidak
terjadi apa-apa?
Maka dari itu, aku meminta bantuanmu, hut. Kau, pergilah ke keluarga
itu. Mereka biasa meletakkan kunci di bawah pot bunga. Masuk dan tinggallah di sana. Aku akan menelepon
temanku itu untuk memberikan ruang kepadamu.
Oya, nanti kalo dunia datang lagi mengetuk pintu mereka, katakan
kalian tidak punya lagi cukup ruang untuk melayaninya. Katakan, kalian sekarang
terlalu sibuk berbahagia. Oke?
Nourma Mei Shinta
No comments:
Post a Comment