Thursday, 16 August 2012

OLEH-OLEH MUDIK: Antara Korupsi dan Integritas


OLEH-OLEH MUDIK:  Antara Korupsi dan Integritas
Oleh : Vika Widyaningrum

Selalu ada dua sisi kehidupan yang bakal kita jumpai, kaya-miskin, baik-buruk, tua-muda, laki-perempuan, ataupun untuk kata sifat seperti:  loyalitas dan penghianatan. Pada tulisan kali ini, kita akan kupas tuntas tentang dua suku kata yang kontradiktif: loyalitas dan penghianatan.
Integritas merupakan salah satu contoh dari sebuah loyalitas. Dan korupsi merupakan sebuah contoh dari penghianatan. Kenapa saya sebut sebagai penghianatan? Korupsi berarti pengingkaran janji pada diri sendiri, keluarga, masyarakat, ataupun bangsa dan negara. Pengingkaran janji tak ubahnya adalah penghianatan. Korupsi berarti menodai kesucian hati, meracuni darah daging sendiri, mengambil hak-hak orang lain, dan dalam sebutan ekstrim : membunuh ibu pertiwi secara perlahan-lahan.
Dalam satu waktu saya disuguhi oleh praktek integritas dan korupsi yang dilakukan dalam kelembagaan yang sama oleh oknum yang secara tidak langsung bersinggugan cukup dekat. Tepatnya saat perjalanan mudik via kereta api beberapa waktu lalu. Begini ulasan ceritanya:
Selang setengah jam keberangkatan KA dari stasiun Pasar Senen, kondektur ditemani dua orang polisi kereta berkeliling memeriksa karcis penumpang. Tibalah mereka pada lokasi dimana saya duduk. Semua berjalan normal, belum ada sesuatu yang  ganjil, sampai akhirnya salah seorang penumpang yang duduk tepat berhadapan dengan saya menyerahkan tiket perjalanannya.
Melihat harga yang tercantum dalam tarif tiket tersebut, si kondektur mengeryitkan dahi. Hanya setengah harga, tiket yang aslinya dijual 130 ribu, hanya dibeli dengan harga 65ribu saja. Rupanya penumpang tadi memanfaatkan fasilitas bagi kalangan militer yaitu pemotongan setengah harga. Si pemuda tidak dapat menunujukkan identitasnya sebagai anggota militer sebab memang bukan anggota militer. Kondektur dengan tegas  memperingatkan pemuda pemilik karcis untuk membeli tiket baru ketika tiba di Stasiun Cirebon.
Beberapa waktu kemudian, bapak kondektur nampak mondar-mandir keluar masuk gerbong dimana saya duduk. Kali ini ia sendirian tanpa kedua polisi kereta yang mengawal.  Seperti telah terjadi sebuah kesepakatan, penumpang tadi bergerak mendekati kondektur dan terjadilah transaksi antara kedua belah pihak. Transaksi damai yang menghapuskan peraturan hitam di atas putih. Iseng-iseng saya tanya pada sang pemuda, ternyata uang tutup mulut yang dikeluarkan hanya 20ribu. Demi 20ribu seseorang menggadaikan loyalitas dan integritasnya.
Ada hitam tentu ada putih. Di sisi lain, saya disuguhi potret integritas dan profesionalitas yang dijunjung tinggi. Tepat di stasiun Cirebon, kereta api berhenti lebih lama dibanding biasanya. Dari ujung pintu nampak sepasang kakek dan nenek disusul oleh petugas kereta yang sibuk membawa berkardus-kardus makanan. Kebetulan sang kakek duduk di samping saya yang kebetulan masih kosong. Mengalirlah sederet cerita dari beliau seputar perjalanannya untuk sampai di gerbong ini dan terkuaklah sebab-musabab keterlambatan kereta.
Rupanya kakek nenek ini tertinggal kereta yang kini kami tumpangi. Mensiasati hal ini, beliau menghubungi kepala stasiun Pasar Senen. Sesuai saran kepala stasiun, mereka berdua menumpang kereta berikutnya yang hanya berselang setengah jam. KA yang ditumpangi kebetulan berkelas bisnis, sementara sang kakek tertinggal kereta ekonomi, sehingga kemungkinan mengejar cukup besar. Kereta pengganti yang ditumpangi hanya melayani trayek sampai Kutoarjo sementara tujuan akhir keduanya adalah Jogjakarta.
Kepala Stasiun mengkontak masinis KA yang kini kami tumpangi untuk menunda keberangkatan ketika tiba di stasiun Cirebon.  Tak lupa kepala stasiun Pasar Senen juga menghubungi kepala stasiun. Bapak ini sangat bersyukur atas bantuan semua pihak, termasuk polisi kereta yang membantu membawakan barang-barang, petugas pemberangkatan yang menunda sampai  keduanya dipastikan duduk di bangku kereta. Ternyata karena ini kereta berhenti lama di Cirebon. Sebuah potret pelayanan yang apik dari para pejabat pelayanan publik.
Dua potret di atas terjadi di tempat yang sama dan sangat dekat dengan saya. Sebagai seorang mahasiswa yang kukuh dengan idealismenya, ada semacam protes ketika melihat praktek suap 20 ribu dan ada semacam keinginan untuk memberi penghargaan kepada kepala stasiun, masinis, maupun polisi kereta yang memegang teguh profesionalitas dan integritas. Pada kenyataannya protes itu sempat terungkap pada si pelaku, dan sempat pula terungkap lewat tulisan tetapi belum memberikan solusi nyata. Lagi-lagi penghargaan pada pemegang integritas juga belum menjadi langkah nyata. Butuh suatu keberanian dan dukungan komunitas untuk menjadikan protes-protes kecil dan penghargaan pada pemegang integritas itu menjadi sebuah langkah solutif yang nyata terlihat. Disinilah kesadaran bahwa Komunitas seperti SPEAK memang wajib ada, tidak hanya di dunia kampus, tetapi juga di dunia kerja, dunia nyata yang menawarkan realita lebih nyata tentang sebuah kehidupan. SELAMAT BERJUANG KAWANJ







No comments:

Post a Comment