OLEH-OLEH MUDIK:
Antara Korupsi dan Integritas
Oleh : Vika Widyaningrum
Selalu ada dua sisi
kehidupan yang bakal kita jumpai, kaya-miskin, baik-buruk, tua-muda, laki-perempuan,
ataupun untuk kata sifat seperti: loyalitas
dan penghianatan. Pada tulisan kali ini, kita akan kupas tuntas tentang dua
suku kata yang kontradiktif: loyalitas dan penghianatan.
Integritas
merupakan salah satu contoh dari sebuah loyalitas. Dan korupsi merupakan sebuah
contoh dari penghianatan. Kenapa saya sebut sebagai penghianatan? Korupsi
berarti pengingkaran janji pada diri sendiri, keluarga, masyarakat, ataupun
bangsa dan negara. Pengingkaran janji tak ubahnya adalah penghianatan. Korupsi
berarti menodai kesucian hati, meracuni darah daging sendiri, mengambil hak-hak
orang lain, dan dalam sebutan ekstrim : membunuh ibu pertiwi secara perlahan-lahan.
Dalam satu waktu saya
disuguhi oleh praktek integritas dan korupsi yang dilakukan dalam kelembagaan
yang sama oleh oknum yang secara tidak langsung bersinggugan cukup dekat.
Tepatnya saat perjalanan mudik via kereta api beberapa waktu lalu. Begini
ulasan ceritanya:
Selang setengah jam keberangkatan KA dari stasiun Pasar
Senen, kondektur ditemani dua orang polisi kereta berkeliling memeriksa karcis
penumpang. Tibalah mereka pada lokasi dimana saya duduk. Semua berjalan normal,
belum ada sesuatu yang ganjil, sampai
akhirnya salah seorang penumpang yang duduk tepat berhadapan dengan saya
menyerahkan tiket perjalanannya.
Melihat harga yang tercantum dalam tarif tiket tersebut,
si kondektur mengeryitkan dahi. Hanya setengah harga, tiket yang aslinya dijual
130 ribu, hanya dibeli dengan harga 65ribu saja. Rupanya penumpang tadi
memanfaatkan fasilitas bagi kalangan militer yaitu pemotongan setengah harga. Si
pemuda tidak dapat menunujukkan identitasnya sebagai anggota militer sebab
memang bukan anggota militer. Kondektur dengan tegas memperingatkan pemuda pemilik karcis untuk
membeli tiket baru ketika tiba di Stasiun Cirebon.
Beberapa waktu kemudian, bapak kondektur nampak
mondar-mandir keluar masuk gerbong dimana saya duduk. Kali ini ia sendirian
tanpa kedua polisi kereta yang mengawal. Seperti telah terjadi sebuah kesepakatan,
penumpang tadi bergerak mendekati kondektur dan terjadilah transaksi antara
kedua belah pihak. Transaksi damai yang menghapuskan peraturan hitam di atas
putih. Iseng-iseng saya tanya pada sang pemuda, ternyata uang tutup mulut yang
dikeluarkan hanya 20ribu. Demi 20ribu seseorang menggadaikan loyalitas dan
integritasnya.
Ada hitam tentu ada putih. Di sisi lain, saya disuguhi
potret integritas dan profesionalitas yang dijunjung tinggi. Tepat di stasiun
Cirebon, kereta api berhenti lebih lama dibanding biasanya. Dari ujung pintu
nampak sepasang kakek dan nenek disusul oleh petugas kereta yang sibuk membawa
berkardus-kardus makanan. Kebetulan sang kakek duduk di samping saya yang
kebetulan masih kosong. Mengalirlah sederet cerita dari beliau seputar
perjalanannya untuk sampai di gerbong ini dan terkuaklah sebab-musabab
keterlambatan kereta.
Rupanya kakek nenek ini tertinggal kereta yang kini kami
tumpangi. Mensiasati hal ini, beliau menghubungi kepala stasiun Pasar Senen.
Sesuai saran kepala stasiun, mereka berdua menumpang kereta berikutnya yang hanya
berselang setengah jam. KA yang ditumpangi kebetulan berkelas bisnis, sementara
sang kakek tertinggal kereta ekonomi, sehingga kemungkinan mengejar cukup
besar. Kereta pengganti yang ditumpangi hanya melayani trayek sampai Kutoarjo
sementara tujuan akhir keduanya adalah Jogjakarta.
Kepala Stasiun mengkontak masinis KA yang kini kami
tumpangi untuk menunda keberangkatan ketika tiba di stasiun Cirebon. Tak lupa kepala stasiun Pasar Senen juga
menghubungi kepala stasiun. Bapak ini sangat bersyukur atas bantuan semua
pihak, termasuk polisi kereta yang membantu membawakan barang-barang, petugas
pemberangkatan yang menunda sampai
keduanya dipastikan duduk di bangku kereta. Ternyata karena ini kereta
berhenti lama di Cirebon. Sebuah potret pelayanan yang apik dari para pejabat
pelayanan publik.
Dua potret di atas
terjadi di tempat yang sama dan sangat dekat dengan saya. Sebagai seorang
mahasiswa yang kukuh dengan idealismenya, ada semacam protes ketika melihat
praktek suap 20 ribu dan ada semacam keinginan untuk memberi penghargaan kepada
kepala stasiun, masinis, maupun polisi kereta yang memegang teguh
profesionalitas dan integritas. Pada kenyataannya protes itu sempat terungkap
pada si pelaku, dan sempat pula terungkap lewat tulisan tetapi belum memberikan
solusi nyata. Lagi-lagi penghargaan pada pemegang integritas juga belum menjadi
langkah nyata. Butuh suatu keberanian dan dukungan komunitas untuk menjadikan
protes-protes kecil dan penghargaan pada pemegang integritas itu menjadi sebuah
langkah solutif yang nyata terlihat. Disinilah kesadaran bahwa Komunitas
seperti SPEAK memang wajib ada, tidak hanya di dunia kampus, tetapi juga di
dunia kerja, dunia nyata yang menawarkan realita lebih nyata tentang sebuah
kehidupan. SELAMAT BERJUANG KAWANJ
No comments:
Post a Comment