Opini : Semua Berawal
dari yang “Kelas Teri”
Oleh : Randyadifta
Fahmi
Selama
ini, tindakan korupsi yang santer didengungkan di media hanya korupsi yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat negara dan pejabat daerah. Hal ini menimbulkan
kesan bahwa KPK hanya menindak koruptor-koruptor elite atau
“kelas kakap”. Padahal, pada kenyataannya korupsi yang bernilai “kelas
teri” banyak terjadi di sekitar masyarakat seperti : tembak pembuatan SIM,
tilang-damai kendaraan bermotor, jalur cepat KTP, pungli dll. Terlepas dari itu
semua, undang-undang telah mengatakan bahwa korupsi pada hakekatnya adalah
setiap orang yang memperkaya diri sendiri, orang lain maupun korporasi dengan
cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara. Ada dua hal yang bisa
ditelaah dari kalimat ini : yaitu kata-kata “setiap orang” menunjukkan tidak
adanya restriksi atau batasan tertentu terhadap siapa pelaku korupsi yang perlu
ditindak, tetapi semua orang yang melakukan korupsi harus ditindak. Kemudian
yang kedua adalah kata “dapat”
sebelum frasa “merugikan keuangan negara” menunjukkan bahwa tindak pidana
korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya
akibat. Dari dua hal ini jelas nampak bahwa korupsi tidak hanya dilakukan oleh kalangan atas saja, tetapi kalangan
yang paling bawahpun juga bisa dikatakan melakukan korupsi bila memenuhi unsur
tadi. Sebagai contoh adalah jalur tembak pembuatan SIM yaitu klien yang menyuap
petugas kepolisian dengan memberi uang agar SIM bisa lekas selesai. Sebaliknya,
bisa juga petugas kepolisian menghambat proses tes kelayakan SIM dengan cara
menggagalkan kelulusan si klien agar mengulang-ulang tes kelayakan tersebut
sehingga klien merasa jenuh dan ujungnya menggunakan jalur tembak . Kedua
contoh di atas sama-sama perbuatan korupsi yang semestinya juga ditangani KPK
karena sudah memenuhi unsur dalam kalimat undang-undang di atas yaitu “setiap
orang” dan kata “dapat” meskipun tidak mengalami kerugian keuangan negara.
Memang sudah saatnya pemerintah
Indonesia baik lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif harus memikirkan
terobosan baru dalam rangka membersihkan korupsi sampai pada yang “kelas teri”
tadi. Wajar saja bila KPK tidak bisa mengakomodasi seluruh kasus korupsi di
pelosok negeri ini karena badan itu hanya berdiri di stau tempat sehingga
mustahil mampu menjangkau kasus korupsi yang “kelas teri”. Selama ini KPK hanya
menerima pelaporan korupsi “kelas teri” tadi tanpa menindaknya karena sibuk dengan
urusan yang “kelas kakap”. Bila ada yang mengatakan bahwa korupsi yang kecil di
tangani polisi apakah kita masih percaya dengan kredibilitas aparat-aparatnya?.
Jawabannya jelas tidak karena pada kenyataannya banyak sekali polisi yang
melakukan tindakan korupsi. Kedepannya, pembentukan lembaga KPK di
daerah-daerah sangat diharapkan untuk mewujudkan Indonesia yang benar-benar bebas
KKN. Tantangnnya adalah bagaimana pemerintah mau mengalokasikan APBN nya untuk
mendirikan lembaga resmi tersebut di daerah, kebutuhan gaji pegawainya,
pemilihan pegawai-pegawai yang kredibel dan akuntabel dan yang paling penting
adalah pengelolaannya yang terpusat sehingga tak timbul raja-raja kecil KPK di
daerah. Dengan terealisasinya wacana tersebut, maka masyarakat tidak merasa
tertipu karena selama ini mereka menganggap percuma saja ada KPK toh korupsi
“kelas teri” di daerah mereka masih tetap subur. Disamping itu, institusi POLRI
akan merasa gengsi bila ada saingannya sehingga mereka pun akan membantu
membersihkan koruspsi-korupsi kecil tersebut. Untuk mewujudkannya, bukankah semua berawal dari yang “kelas teri”?
No comments:
Post a Comment