Tuesday, 31 July 2012

Semua Berawal dari yang “Kelas Teri”


Opini : Semua Berawal dari yang “Kelas Teri”

Oleh : Randyadifta Fahmi

Selama ini, tindakan korupsi yang santer didengungkan di media hanya korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara dan pejabat daerah. Hal ini menimbulkan kesan bahwa KPK hanya menindak koruptor-koruptor  elite atau  “kelas kakap”. Padahal, pada kenyataannya korupsi yang bernilai “kelas teri” banyak terjadi di sekitar masyarakat seperti : tembak pembuatan SIM, tilang-damai kendaraan bermotor, jalur cepat KTP, pungli dll. Terlepas dari itu semua, undang-undang telah mengatakan bahwa korupsi pada hakekatnya adalah setiap orang yang memperkaya diri sendiri, orang lain maupun korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara. Ada dua hal yang bisa ditelaah dari kalimat ini : yaitu kata-kata “setiap orang” menunjukkan tidak adanya restriksi atau batasan tertentu terhadap siapa pelaku korupsi yang perlu ditindak, tetapi semua orang yang melakukan korupsi harus ditindak. Kemudian yang kedua adalah kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dari dua hal ini jelas nampak bahwa korupsi tidak hanya  dilakukan oleh kalangan atas saja, tetapi kalangan yang paling bawahpun juga bisa dikatakan melakukan korupsi bila memenuhi unsur tadi. Sebagai contoh adalah jalur tembak pembuatan SIM yaitu klien yang menyuap petugas kepolisian dengan memberi uang agar SIM bisa lekas selesai. Sebaliknya, bisa juga petugas kepolisian menghambat proses tes kelayakan SIM dengan cara menggagalkan kelulusan si klien agar mengulang-ulang tes kelayakan tersebut sehingga klien merasa jenuh dan ujungnya menggunakan jalur tembak . Kedua contoh di atas sama-sama perbuatan korupsi yang semestinya juga ditangani KPK karena sudah memenuhi unsur dalam kalimat undang-undang di atas yaitu “setiap orang” dan kata “dapat” meskipun tidak mengalami kerugian keuangan negara.
Memang sudah saatnya pemerintah Indonesia baik lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif harus memikirkan terobosan baru dalam rangka membersihkan korupsi sampai pada yang “kelas teri” tadi. Wajar saja bila KPK tidak bisa mengakomodasi seluruh kasus korupsi di pelosok negeri ini karena badan itu hanya berdiri di stau tempat sehingga mustahil mampu menjangkau kasus korupsi yang “kelas teri”. Selama ini KPK hanya menerima pelaporan korupsi “kelas teri” tadi tanpa menindaknya karena sibuk dengan urusan yang “kelas kakap”. Bila ada yang mengatakan bahwa korupsi yang kecil di tangani polisi apakah kita masih percaya dengan kredibilitas aparat-aparatnya?. Jawabannya jelas tidak karena pada kenyataannya banyak sekali polisi yang melakukan tindakan korupsi. Kedepannya, pembentukan lembaga KPK di daerah-daerah sangat diharapkan untuk mewujudkan Indonesia yang benar-benar bebas KKN. Tantangnnya adalah bagaimana pemerintah mau mengalokasikan APBN nya untuk mendirikan lembaga resmi tersebut di daerah, kebutuhan gaji pegawainya, pemilihan pegawai-pegawai yang kredibel dan akuntabel dan yang paling penting adalah pengelolaannya yang terpusat sehingga tak timbul raja-raja kecil KPK di daerah. Dengan terealisasinya wacana tersebut, maka masyarakat tidak merasa tertipu karena selama ini mereka menganggap percuma saja ada KPK toh korupsi “kelas teri” di daerah mereka masih tetap subur. Disamping itu, institusi POLRI akan merasa gengsi bila ada saingannya sehingga mereka pun akan membantu membersihkan koruspsi-korupsi kecil tersebut. Untuk mewujudkannya, bukankah semua berawal dari yang “kelas teri”?

No comments:

Post a Comment